Wednesday, October 08, 2003

Empati Anak-anak
Oleh: Vera Wahyudi
[orang tua Luthfi SD-4]

Hasnah adalah murid paling cantik di Special Needs Center (SNC) Sekolah Alam, karena dia satu-satunya murid perempuan di situ. Tapi sungguh, pada kenyataannya dia memang cantik.
Saat Hasnah bergabung di kelas reguler (SD-3) tahun lalu, anak-anak SD-3 ditugaskan oleh gurunya untuk menulis dengan tema 'Jika Aku Jadi Hasnah'. Kini mereka semua sudah duduk di kelas 4, sementara Hasnah kembali ke SNC.
Empati yang dalam tercermin dari beberapa tulisan anak-anak ini. Jika diberi pengertian yang benar, mereka bahkan bisa diajak bekerjasama memberikan lingkungan yang suportif dan kondusif bagi kemajuan teman-temannya di SNC, termasuk yang autis sekalipun, Insya Allah. Yang jelas, kehadiran anak-anak seperti Hasnah di lingkungan mereka, membuat mereka lebih mensyukuri nikmat yang diberikan Allah kepada mereka. Simaklah bait-bait dibawah ini:

Jika aku jadi Hasnah aku senang,
walaupun aku diejek-ejek anak autis dan masuk special needs
aku tidak akan marah, karena mereka pasti belum tahu
Jadi kalau mereka mengejek,aku tidak akan marah sedikit pun.
Malah aku akan bilang pada mereka tentang special needs.
Jadi mereka tidak akan lagi mengejekku.
Aku sendiri tidak akan mengejek teman special needs yang lain.
Jika teman special needs ada yang diejek,
akan kusarankan padanya untuk jangan marah, tapi menasehatinya.
Jadi saranku untuk teman-teman special needs,
jangan menyerah dalam pelajaran apa pun.
(Sofi)

Kalau aku jadi Hasnah aku tidak malu
Walaupun dia bukan seperti aku
Aku juga bersyukur karena Hasnah juga temanku
Dia baik sama aku. Dia kenal sama aku
Aku juga suka sama dia
Hasnah sering dijauhi, tapi dia tidak marah
Hasnah tau kalau dia lain.
Sedihnya kalau aku dijauhi sama teman-teman,
Tapi Hasnah tidak.
Karena dia adalah anak yang baik
Dan tau harga diri, serta tau perasaan
Hasnah adalah hamba Allah
(Aisyah)

Seandainya aku menjadi anak autis, pasti aku sedih sekali
Aku, Amin, bersyukur kepada Allah tidak menjadi anak yang autis
Ya Allah, aku bersyukur
karena Engkau tak menjadikan aku anak yang autis
Alhamdulillah
Pesan :
Kita harus bersyukur kita tidak menjadi anak yang autis
(Amin)

Jika aku menjadi Hasnah
Aku sedih karena aku tidak bisa belajar bersama
Aku senang karena aku langsung masuk surga
Aku juga senang karena aku punya teman
Aku sedih karena aku tidak punya teman yang besar
(Sulis)

Aku sangat sedih jika aku begitu,
tetapi aku tetap bersyukur kepada Allah
karena aku masih bisa berbicara
Aku juga sangat senang karena aku
masih bisa mengingat dengan baik
tetapi yang kusesali cara belajarku lain dengan yang lain
Selain itu aku senang karena guru-guru yang
Mengajar di special needs masih menyayangiku
Dan menghargaiku ketika aku sedang kesusahan dan kesulitan
Aku juga senang karena aku bisa bermain
bersama teman-teman lain.
(Arumi)

Andaikan aku menjadi Hasnah
Aku pun bersyukur kepada Allah
Karena Allah yang menciptakan kita
Mungkin hatiku sedih jika aku jadi Hasnah
Tidak seperti teman-teman yang lain
Mereka pintar, tidak sepertiku
Mungkin suatu saat diriku bisa
Seperti teman-teman yang lain
Hai teman-teman, doakan aku ya
Agar diriku kembali normal
Teman-teman, doakan aku ya
Agar aku, Hasnah, bisa seperti teman-teman
(Eka)

Jika aku seperti Hasnah,
Aku akan bersedih karena tidak bisa bermain
Atau tidak bisa belajar bersama teman sekelasku
Oh begitu sedihnya diriku
Aku tidak bisa memasak seperti temanku
Dan aku tidak bisa membuat teh untuk keluargaku
Dan aku tidak bisa menulis
Banyak sekali kekuranganku dari teman-temanku
Dan aku bersyukur karena aku diciptakan Allah normal,
Dan juga ilmu yang normal
Terima kasih ya Allah
Karena kau menciptakan aku normal. Dan ilmu y ang normal
Sekali lagi terima kasih ya Allah
O ya, untuk teman-teman yang special needs,
jangan mudah putus asa ya… Oke deh.
(Rizka)

Dewa dan Kika
Oleh: Sylvia Nora Savitiri
[orang Afrizal 'Kakak' Firdaus SD-3]

Kejadian ini pada saat si sulung kami yang sekarang kelas 3 masih duduk di kelas 1 SD.
Waktu itu ada kegiatan bermain bersama anak-anak pinggir jalan.
Yang akan kuceritakan di sini bukan tentang anakku tetapi teman sekelasnya, Kika dan Dewa.
Salah satu acaranya adalah bermain bakiak raksasa.
Dewa cs melaju dengan bakiaknya dan terus berputar perlahan- lahan dengan penuh percaya diri
padahal lawan-lawan mereka sudah di finish semua.
Jadilah kami semua tertawa melihat gaya cuek-nya mereka. Sudah jelas kalah 'kan?
Tetapi seluruh etape itu tetap di jalani dengan wajah penuh senyum dan tampak sekali kalau mereka gembira.
Tiba saatnya Kika cs melaju. Kelompok ini jatuh bangun sambil mendengar komando dari Kika.
Karena beberapa kali jatuh bisa di tebak mereka tidak bisa sampai ke garis finish.
Jadi singkatnya kalah. Kika tidak terima.
Maklum masih kelas satu. Kika menangis di bawah pohon sambil menyesali salah satu dari anggota kelompoknya.
Saya kaget juga melihat Kika menangis dan berjalan ke arah Kika untuk mencoba menenangkan.
Tetapi saya kalah beberapa langkah, sebab saat saya tiba, Dewa sudah ada di hadapan Kika, dan mencoba membujuknya.
"Sudahlah Kika. Nggak apa-apa. Aku juga kalah 'kok! 'Tuh lihat, aku nggak nangis" kata Dewa.
Kika tetap menangis tetapi Dewa tidak putus asa.
Ia tetap membujuk dan kali ini dengan gaya yang tidak akan bisa saya lupakan:
Dewa membujuk dengan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kepala Kika yang sedang duduk di tanah!
Benar-benar pemandangan yang mengharukan.
Tidak ada kata makian atau ejekan karena temannya menangis, tetapi benar-benar kata-kata yang (bahasa kerennya) EMPATI !!!
Subhanallah, anak-anak kami yang masih berusia antara 6 dan 7 tahun sudah mempraktekkannya secara langsung!
Setelah yakin bahwa Kika akan tenang kembali, saya berlalu sambil menahan haru dan bangga yang dalam.
Saya yakin ini semua karena campur tangan guru pada masa-masa sebelumnya dan tentu semudah membalik telapak tangan.
Anak-anak tidak hanya perlu doktrin, tetapi lebih perlu contoh. Anak adalah peniru yang sangat ulung.
Kalau tidak ada kerjasama yang baik dan berkesinambungan antara orang tua dan sekolah (dalam hal ini guru), cerita di atas mungkin akan berbeda.
Guru adalah orang yang sangat mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku anak.
Guru adalah sosok yang sangat membanggakan bagi anak-anak.
Sehingga pernah si Sulung saya yang kini kelas 3 SD bertanya apakah dia bisa menjadi guru Sekolah Alam kelak,
sebab dia merasa tidak sepintar Shofa mengaji.
Saya katakan bahwa dia dalam proses belajar dan kalau belajar sungguh-sungguh dan tekun, Insya Allah bisa sepintar Shofa.
Waktu saya tanya mengapa ia ingin jadi guru Sekolah Alam,
ia menjawab sebab guru- guru Sekolah Alam baik, pintar, sabar dan sering mengajak bercanda.
Jawaban sederhana tapi sarat makna.
Sebab untuk menjadi pintar, sabar dan dapat masuk ke dunia anak bukanlah hal yang mudah, dan menurut Sulung saya, semua itu ada di Sekolah Alam...

Ibu Guruku Menikah
Siti Bibah Indrajati
[orang tua Dinair TK-B]

Tahun 2002,
Ibunda ……… Bu Maryam menikah !
Waktu itu Dinair langsung menyerbu dengan seberondongan kalimat kalau dirinya harus menghadiri pesta pernikahan guru PG-nya.
Tidak sampai disitu, dia juga bertanya,
"Ibunda, menikah itu apa 'sih? Kenapa Bu Maryam habis menikah harus cuti?"
Begitu banyak 'kata-kata baru' yang keluar dari mulutnya, dan begitu banyak pula jawaban yang harus dirangkai agar dapat dimengerti oleh anak seusia Dinair.

Hari Minggu ………
Diluar kebiasaan, Dinair sudah bangun lebih pagi, menghabiskan
sarapannya dengan cepat dan bersiap-siap untuk pergi.
Oh, rupanya ia dengan semangat telah mempersiapkan diri untuk datang ke pernikahan Bu Maryam.
Perjalanan menuju gedung pertemuan dari rumah kami di Ciganjur cukup jauh.
Namun sepanjang perjalanan keceriaan selalu tampak di wajahnya.
Sampai kemudian, olala, ban motor kami bocor terkena paku di perempatan Hero - Mampang!
Hari semakin siang dan hari Minggu pula, pasti sulit mencari tukang tambal ban, apalagi bengkel motor.

Melihat kejadian itu, mata Dinair mulai memerah.
"Ibunda, Bu Maryam pasti sudah pulang, Dinair nggak bisa ketemu", katanya.
Cukup lama kami mencari bengkel motor dan cukup jauh pula Dinair ikut mendorong motor ayahnya sambil terus membaca Surat An-Nasr. "Bu guru bilang dalam kesulitan kita harus berdoa terus, begitu katanya".
Kurang lebih jam setengah dua kami baru tiba, dan benar saja, kami menjadi tamu yang paling akhir, karena ternyata acara sudah selesai. Dinair menitikkan air mata dan tidak mau masuk.
Setelah dibujuk dan melihat ibu gurunya masih ada di kamar ganti baru dia mau masuk.
Dengan malu-malu ia mendekati ibu gurunya, memberi salam, dan menatap takjub ibu gurunya.
"Ibu Guruku cantik sekali ya bun? Itu yang namanya menikah ya bun?"
Ibunda ……… Bu Asih menikah !
Ibunda ……… Pak Chudori menikah !
Ibunda ……… Bu Idet menikah !
Ibunda ……… Bu Sarah menikah !
Anakku … begitu besar rasa sayang dan rasa memiliki yang ada di dalam hatimu, kepada para guru yang telah menanamkan perasaan itu semua….

"Potong saja gajiku…"
Yalti Pramono
[guru, dan orang tua Nisaa SD-3 dan Azka TK-B]

Kejadian ini sebenarnya terjadi di antara para guru.
Dan mungkin guru-guru Sekolah Alam tidak akan setuju kalau saya menuliskan kejadian ini.
Tetapi saya memberanikan diri untuk menuliskannya juga, karena kejadian ini begitu membekas di hati
dan menambah tinggi respek saya terhadap perjuangan para guru di Sekolah Alam.
Istilah "Pahlawan Tanpa tanda Jasa" benar - benar berarti dan layak disandang oleh para guru-guru Sekolah Alam.
Untuk itu saya mohon maaf sebesar-besarnya pada para guru atas kelancangan saya menceritakan hal ini.
Peristiwa ini terjadi ketika saya ikut terlibat dalam suatu diskusi kecil di antara para guru di SA.
Waktu itu salah seorang guru meminta pendapat dari teman-teman lainnya.
Permasalahannya saat itu beliau sedang ber partner dengan guru pengganti, karena partner utamanya sedang cuti hamil.
Seperti akad awal guru pengganti akan mengajar sampai waktu dzuhur dan mendapat honor dari jatah tansport guru yang sedang cuti.
Masalahnya, guru pengganti ini dengan ikhlas terus memperpanjang jam kerjanya sampai akhir pelajaran.
Tentu saja partnernya senang karena beliau merasa terbantu sekali, tapi dilain pihak,
ada rasa takut mendzolimi guru pengganti tersebut.
Ketika sedang di cari penyelesaiannya tiba-tiba terlontar kata-kata dari guru tersebut "…potong saja gajiku,
dan itu bisa dijadikan tambahan honor untuk guru pengganti itu…"

Kalimat itu terus mengikuti saya kemana saja saya pergi hari itu.
Hati saya sangat trenyuh mengingat kata itu. Apalagi saya tahu persis berapa gaji guru tersebut
dan saya juga tahu bagaimana guru ini harus menginap di sekolah di akhir bulan karena tidak punya ongkos lagi.
Saya tahu kalau saya usulkan untuk dibicarakan di dewan kelas, pasti guru tersebut keberatan.
Karena mungkin ini akan menimbulkan kontroversi baru,
atau bisa-bisa memancing komentar pedas dari orang tua yang sudah merasa membayar tinggi uang sekolah anaknya.
Di malam hari saya menelepon salah satu orang tua murid yang juga menjadi sahabat saya.
Biasanya kami berdua mempunyai kesamaan ide dalam hal pendidikan anak.
Saya ceritakan apa yang tadi siang saya alami.
Teman saya tersebut langsung mengusulkan hal yang juga ingin saya usulkan ke beliau.
Komentar temen saya itu "Lebih baik nggak makan siang 'deh, daripada ada guru yang dipotong gajinya".
Alhamdulillah, masalah pun selesai. Tapi hati saya tetap terkesan dengan betapa suci dan mulianya hati guru tersebut.
Bayangkan, di tengah kekurangannya, beliau masih tetap berpikir untuk berbagi dengan partner kerjanya.
Seringkali kita mendengar di media massa,
dimana-mana para guru protes karena gajinya di'sunat' oleh para birokrat yang kejam dan korup.
Hal itu memang memprihatinkan, tetapi mungkin hanya di Sekolah Alam ada seorang guru yang malah merelakan gajinya di'sunat' untuk menolong rekan guru yang lain!
Subhanallah! Semoga ALLAH SWT mencatatnya sebagai amal ibadah beliau. Amin….
Kejadian di atas hanya satu dari sekian banyak bentuk-bentuk keikhlasan lain yang saya jumpai setiap hari di Sekolah Alam.
Baik dari para guru, staf dan karyawan sekolah, orang tua murid, sampai supir jemputan sekalipun.
Semuanya dengan tulus ikhlas melakukan apa saja demi kebaikan anak-anak dan kemajuan Sekolah Alam.
Subhanallah.

Lho… lho… lho…
Ajeng dan Iman Santoso
[orang tua Nadya SD-1 Barat]

Karena ingin memberikan yang terbaik (Insya Allah) kepada kedua anak kami, saya dan suami memutuskan tinggal terpisah untuk sementara (Jakarta - Cilegon). Karenanya, kami sekeluarga hanya bertemu saat week-end. Saat tengah minggu, ketika menemani Ghozi (3,5 tahun - PG B) tidur siang, saya bertanya: "De… Ade kangen sama ayah?"
"Enggak, aku kangen sama Pak guru dan Bu Guru, Pak Endes, Bu Maryam sama Bu Kun," jawab Ghozi tanpa beban.
Lho?!

****

Ghozi, anak ke dua kami untuk sementara (Insya Allah), anak bungsu. Semula, agak sulit mengajarkan Ghozi untuk mandiri. Misalnya, sehabis minum susu tidak mau meletakkan gelasnya di bak cuci atau di atas meja. Ghozi hampir selalu minta tolong. Bila kita tidak mau, dia akan meletakkan gelas tersebut di atas lantai. Sudah dibujuk, dicontohkan, dikasih reward pun sering 'gatot' (gagal total).
Satu bulan di Sekolah Alam. Minggu pagi habis berlari-lari (kegiatan favoritnya), Ghozi masuk dapur, ambil gelas di lemari, meletakkannya di lantai, ambil botol minum di lemari es, menuangkan ke gelas yang di lantai, minum, dan setelah selesai, semua dirapikan ke tempatnya. Gelas diletakkan di bak cuci.

Saya dan suami: "Lho…"

****

Nadia, (6,2 tahun, SD I Barat), anak pertama kami, hari Selasa itu lupa membawa 'Baju Ayah'.
"Bu, besok-besok (Selasa depan) aku tidak usah pakai baju ayah lagi ya! Enak lho Bu, aku jadi 'kerja'. Aku malah disuruh bersih-bersih, lari-lari… asyik lho Bu, asyik banget, asyik banget 'deh, pokoknya."
Saya (dalam hati): "Lho, mbak Iya (panggilan untuk Nadia) kamu itu 'kan berarti tadi senang dihukum?!". Begitulah Sekolah Alam. Bahkan hukuman pun terasa menyenangkan!

****

Di suatu pagi yang cerah, siap-siap mau sekolah. Saat ingin berpakaian Nadia menemukan sebagian besar celana panjangnya sobek. "Bu, celanaku sobek semua 'nih. Pakai apa ke sekolah?"
"Lho, kenapa ya, Mbak Iya?"
"He-he-he… kan naik-naik."
"Iya .. ya… Rumah pohon, outbound…"

Aku Belajar dari Anak-anakku
Oleh: Admita
[orang tua Afran SD-1 dan Tania PG-B]

Saya adalah ibu dari tiga anak, dua di antaranya bersekolah di Sekolah Alam.
Afran kelas I SD dan Tania kelas PG B.
Banyak hal-hal yang mengesankan dari dari kedua anak saya itu sejak mereka bersekolah di Sekolah Alam…
terutama jawaban-jawaban mereka atas pertanyaan-pertanyaan saya.
Ada pengalaman yang lucu. Karena kebiasaan membuka sepatu sebelum masuk kelas,
pernah suatu ketika Afran membuka sepatu sebelum masuk mobil.
Terpaksa mobil harus mundur lagi karena sepatunya ketinggalan.
Belum lagi masalah recicle. Barang apa saja yang sudah tidak dipakai tidak boleh dibuang.
Botol Yakult, Aqua, bekas kotak susu, dan sebagainya … semua dikumpulkan dan tidak boleh dibuang.
Sebab kata Afran barang-barang bekas tersebut bisa dipakai untuk membuat sesuatu yang bermanfaat.
Saya adalah seorang ibu yang emosional.
Seringkali marah dan berteriak kesal kepada mereka, apabila mereka sulit diatur.
Tapi saya sering mendapat teguran dan diingatkan oleh mereka,
sehingga saya berusaha keras menjadi orang yang sabar.
Saat saya marah kepada Afran karena lama sekali mandinya,
Afran menjawab, "Bunda, jangan marah…. surga bagimu." Saya lalu minta maaf.
Pernah juga saya kesal sekali pada Afran, karena makannya tidak habis-habis.
Dan apa katanya? "Bunda, ayo istighfar 3 kali!" Saya pun beristighfar dan meminta maaf kepadanya.
Ada satu pengalaman yang benar-benar mengharukan.
Waktu itu saya marah sekali pada Tania karena tidakmau tidur, padahal sudah malam. Ia lalu berkata, "Bunda jangan marah ya…"
Saya jawab masih dengan nada kesal, "Makanya, Tania tidur dong!". Tiba-tiba ia terisak-isak.
"Kenapa kamu menangis? Aku minta maaf ya…"
Aku kaget, Tapi, apa jawabnya?
"Bunda, kalau Bunda marah-marah terus, nanti Bunda masuk neraka loh…"

Aku terperangah,
"Kok Tania bicara begitu? Ya sudah, aku minta maaf."
"Aku sedih, kalau Bunda masuk neraka aku tuh nanti nggak punya ibu lagi!"
Saya langsung memeluknya, dan menyesali diri saya yang tidak bisa menahan marah.
Saya pernah mengalami dilema. Tepatnya pada saat Afran mau naik kelas I.
Begitu banyak saran untuk pindah sekolah, terutama karena Sekolah Alam belum juga mendapat izin dari Depdiknas.
Saya bingung untuk memutuskan apakah saya harus pindah atau tetap menyekolahkan Afran di Sekolah Alam.
Namun akhirnya saya putuskan untuk tetap menyekolahkan Afran di situ.
Selain karena Afran sendiri tidak mau pindah,
saya pun merasa banyak perubahan positif dalam diri Afran sejak sekolah di situ.
Afran sekarang menjadi anak yang sedikit mau mengalah kepada adik-adik maupun sepupunya,
mau menolong adik-adiknya dan mau minta maaf bila melakukan kesalahan.
Dari Afran saya juga banyak belajar doa-doa, termasuk doa-doa setelah sholat.
Saya juga belajar menjadi ibu yang lebih baik dari lingkungan Sekolah Alam.

Presentasi Rumah Kaca
Oleh: Frida Iman
[orang tua siswa]

Pada masa proses mendaftarkan anak kami ke Sekolah Alam, kami terkejut mendapati salah satu pengumuman di papan pengumuman sekolah yang berjudul "Rumah Kaca".
Di situ tertera bahwa murid-murid kelas 3 SD akan memberikan presentasi untuk menggalang dana pembuatan rumah kaca. Saya dan suami yang belum paham seperti apa murid-murid Sekolah Alam ini, begitu tertarik pada pengumuman tersebut. Sepenglihatan kami ketika melakukan survei ke sekolah, yang tampak memang anak-anak dengan penuh antusias, amat percaya diri, dengan raut wajah yang riang gembira. Pengumuman tersebut seolah membuka jalan bagi kami untuk mengetahui lebih jauh karakteristik anak-anak yang menjalani pendidikan di Sekolah Alam. Segera kami minta dijadwalkan waktu untuk mendengarkan presentasi tersebut.
Tahap pertama, kami diminta untuk mengambil proposal terlebih dahulu, dimana Pak Yudha selaku guru kelas dan penanggung jawab akan menyerahkannya. Pada hari yang telah ditentukan saya datang ke Sekolah Alam. Bu Asih (staf administrasi) menerima saya dengan ramah dan meminta saya menunggu kedatangan Pak Yudha, lalu beliau pergi mencari Pak Yudha di kelas 3. Tak lama kemudian, Bu Asih kembali sendiri tanpa Pak Yudha dan berkata, "Maaf Bu, saya akan menyerahkan proposal rumah kaca tersebut. Pak Yudha tidak bisa menemui ibu karena beliau sedang bersama anak-anak." Dalam hati saya berucap, subhanallah, betapa beruntungnya anak-anak di sini, mempunyai guru yang menempatkan mereka pada prioritas nomor satu!
Di rumah, peristiwa tersebut menjadi bahan diskusi yang menarik antara saya dan suami. Kami betul-betul kagum akan sosok guru di Sekolah Alam, yang tidak menomorduakan anak-anak didiknya hanya karena kedatangan seorang donatur. Sepengetahuan kami di mana-mana seorang donatur menempati posisi tersendiri dan kehadirannya dinantikan. Ternyata hal tersebut tidak terjadi di Sekolah Alam. Nilai tambah tersebut memperpanjang alasan kami untuk menempatkan anak kami di Sekolah Alam.
Kejutan lain yang kami dapatkan adalah proposal rumah kaca itu sendiri. Kami membayangkan proposal tersebut dibuat oleh para guru, yang pada kenyataannya, dibuat oleh anak-anak kelas 3 SD! Dengan isi dan bahasa anak-anak kelas 3 SD, proposal tersebut bisa menceritakan dengan jelas fungsi rumah kaca yang mereka butuhkan. Begitu besar kepercayaan para guru terhadap anak-anak asuhannya, untuk menyerahkan sepenuhnya hal tersebut pada anak-anak.
Jadwal presentasi telah ditentukan. Suami saya begitu menyesal tidak dapat menghadirinya karena tugas di kantor yang tidak dapat ditinggalkan. Berkali-kali ia pesan: "Tolong segera telepon saya, begitu presentasi selesai". Keingintahuan yang besar memenuhi benak kami. Seperti apa presentasi yang akan disampaikan anak-anak kelas 3 SD?
Presentasi dilaksanakan oleh 5 orang anak yang dipilih secara acak. Mereka begitu percaya diri, jujur, apa adanya. Tidak terlihat polesan dan usaha orang dewasa untuk membuat presentasi menjadi lebih baik. Namun justru orisinalitas dan keyakinan anak-anak tersebut yang membuat presentasi itu begitu berkesan dan menyentuh. Begitu tingginya pemahaman mereka atas isi presentasi tersebut. Kami salut.
Di akhir presentasi saya sampaikan kekaguman itu pada mereka. "Aku sering mendengar presentasi, tetapi ini yang pertama aku mendengarkan anak-anak kelas 3 SD berani dan bisa mempresentasikan sesuatu. Aku bangga sekali pada kalian semua". Dengan senyum manis dan binar mata bangga, mereka menjawab pernyataan saya. Rasanya dana kami yang sekadarnya itu tidak sebanding nilainya dengan kemampuan mereka. Keep up the good work anak-anak Sekolah Alam!

Surat Untuk Anakku di Sekolah Alam
Oleh: Ari Pramono
[Orang tua Nisaa SD-3 dan Azka TK-B]

Assalamualaikum Wr Wb
Anakku yang kusayangi.., Apa kabarmu hari ini?
Terlalu banyak hal yang ingin ayah tanyakan setiap kali ayah melihat sorot matamu yang lincah dan gembira sepulangmu dari sekolah ....
Berapa batang pohon yang telah engkau panjat hari ini?
Berapa buah terong yang engkau panen pagi tadi?
Berapa banyak cerita yang engkau dengar dari gurumu seharian tadi ?
Dengan siapa engkau memanjat rumah pohon siang tadi ?...dst ... dst
Begitu banyaknya pertanyaan tadi, sampai - sampai ayah selalu bingung dari mana memulainya....
Tetapi seperti biasa, kebingungan ayah itu akan segera terjawab, karena bak sebuah peluru mitraliur,
mulutmu dengan tanpa henti langsung akan menembakku dengan jawaban - jawaban keingintahuanku tadi, sebelum ayah sempat mulai bertanya!
Begitu indah harimu,... begitu permai sekelilingmu dan begitu dinamis lingkunganmu..selalu demikian setiap hari ...
Seakan kau memasuki dunia dan petualangan baru setiap kali engkau masuki gerbang bambu sekolahmu itu...
Ibarat burung, kau terbang dari hutan ke hutan, dari lembah ke lembah, dengan kelas kayumu itu sebagai pesawatmu ...
Anakku ...
Ayah tentu akan berbahagia bila engkau nanti menjelma menjadi orang cendikia ...
Ayah tentu akan bersyukur bila engkau nanti diberkahi kekayaan
dan kejayaan ....
Ayah tentu akan senang bila engkau nanti diamanahi kekuasaan
yang besar .....
Tetapi terus terang anakku ....
Ayah akan lebih bahagia, lebih bersyukur dan lebih senang.....
Bila nanti engkau juga menjadi orang yang selalu berbahagia.....
Karena selalu dapat menengok kebelakang dengan senyuman ......
Senyuman untuk mengenang masa indahmu di sekolah....
Senyuman untuk keberhasilan menjadi dirimu sendiri ...
Dan anakku .....
Itulah sebab utama, mengapa ayah menitipkanmu di Sekolah Alam ...
Melangkahlah terus anakku, majulah kedepan ... Tersenyumlah selalu ....
Wassalamualaikum Wr Wb
Ayah,
Ari Pramono

Jalan Panjang Menggapai Sekolah Impian
Oleh: Frida Iman
[orang tua siswa]

Konsep sekolah yang ada dalam pikiran saya dalah Tomoe Gakuen, sekolah yang salah satu muridnya adalah Totto-Chan. Buku Totto-Chan pertama kali saya baca ketika saya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Sejak membaca buku tersebut, saya selalu memimpikan sebuah sekolah yang begitu menyenangkan seperti itu.

Mimpi masa kecil saya terbawa hingga saya dewasa dan berkeluarga. Alhamdulillah, suami saya pun mempunyai visi yang sama yang ingin kami bekalkan kepada anak-anak kami. Menjelang sulung kami memasuki usia sekolah, mimpi tersebut menjadi hal yang 'mengganggu' pikiran kami. Karena saat itu kami begitu pesimis melihat pola pendidikan yang ada di Indonesia. Ada juga rasa ketakutan anak sulung kami dicap sebagai anak yang aneh, trouble maker, dan sebagainya, ia mempunyai daya khayal yang secara normatif dinilai berlebihan. Sementara, sebagai orangtua, kami biarkan hal tersebut berkembang dengan minim batasan. Kami menganggap imajinasi adalah ajang berkembangnya kreativitas.
Begitu seringnya kami membicarakan sistem pendidikan impian kami itu, tak heran bila teman-teman kami pun mengetahuinya. Maka, suatu hari salah seorang teman kami memberikan informasi yang sangat berharga, "Sekolah impian itu ADA, namanya Sekolah Alam", ujarnya. Saat itu kami sekeluarga tinggal di luar kota. Setelah menerima informasi itu, penantian pemindahan tugas suami kembali ke Jakarta, terasa menjadi begitu panjang!
Ketika masa tugas di luar kota berakhir, hal pertama yang kami lakukan adalah mencari sekolah tersebut. Saat itu sulung kami memasuki usia sekolah TK A. Namun impian kami belum bisa menjadi kenyataan, karena tidak ada kuota untuk anak kami pada tahun ajaran tersebut. Dengan memendam kekecewaan kami terpaksa memasukkan anak kami ke sekolah lain, yang menurut informasi, mempunyai misi dan visi kurang lebih sama seperti sekolah impian kami. Ternyata sekali lagi kami mengalami kekecewaan. Konsep yang ada begitu berbeda dengan praktek kesehariannya. Padahal harapan kami hanya satu: Tolong kenali dan pelajari keunikan anak kami! Dengan mengetahuinya akan terlihat potensi yang ada dan keterbatasannya, karena kognitif bukanlah segalanya!
Memasuki usia Sekolah Dasar, kami kembali berusaha menggapai mimpi. Sekolah Alam kembali kami hubungi. Kali ini masih ada 2 kuota untuk anak kelas 1 SD. Seolah mendapat titik terang, kami mengikuti tahap-tahap prosedur penerimaan dengan penuh rasa cemas. Yang paling kami cemaskan adalah masa sit-in untuk anak kami, dimana apabila hanya dilihat 'tampak luar'nya anak kami adalah anak yang 'aneh' (meminjam istilah umum. Kami sendiri menyebutnya 'unik').
Belum lagi reaksi pertama anak kami ketika meninjau lokasi sekolah, "Aku nggak mau sekolah di sini, karena nggak ada ayunan". Kami berusaha membujuknya dengan alternatif lain, "Kita coba dulu, di sini memang tidak ada ayunan, tapi kamu bisa adventure", (waktu itu kata 'adventure' merupakan kata yang disukai anak kami).
Akhirnya perjuangan kami membuahkan hasil. Alhamdulillah anak kami diterima! Namun satu ujian lagi harus kami hadapi. Maukah anak kami bersekolah di sini? Kami memberinya 3 alternatif sekolah, salah satunya Sekolah Alam, dengan penjelasan atas masing-masing kondisi yang terdapat di dalamnya. Saat pertanyaan tersebut harus kami utarakan, puncak kecemasan kami adalah menanti jawabannya. Begitu ia menjawab dengan lantang: " Aku mau sekolah di Sekolah Alam!", mimpi indah serasa jadi milik kami bersama. Yang paling melegakan, ternyata anak kami pun memilih sekolah impian kami, Sekolah Alam.

Sekolah Terbaikku
Oleh: Usamah Musari'ul Khoir
[Siswa SD-6]

Banyak yang kualami di sekolahku ini. Sekolah terbaikku.
Saat aku sit-in, aku pikir sekolah ini hanya sekolah biasa. Tapi saat aku diterima di sini aku merasakan kelebihan sekolah ini.
Banyak pengalamanku yang menarik, di antaranya, saat aku terpisah dengan kedua guruku di kereta Jakarta - Bogor,
saat aku diutus mengikuti lomba pengetahuan di Museum Teknologi dan Energi di TMII di mana aku harus naik turun lantai untuk mencari jawabannya,
saat aku outing ke saung Mang Ujo di mana aku mendengarkan lantunan musik angklung terbaik,
saat aku diutus mengikuti kuis Siapa Berani dan aku bisa membawa pulang sebuah kompor,
saat aku terpilih menjadi Presiden Siswa yang pertama di Sekoalh Alam
dan masih banyak yang lainnya yang tak bisa kulupakan.

Ada juga program sekolah yang menarik seperti saat sekolah mengadakan Pekan Ilmiah Siswa,
Turnamen Sepakbola, memanen ikan dari empang, memanen kacang hijau dari kebun,
Market Day, Pets Day, Open House dan yang lainnya.
Juga teman-temanku, seperti Ilham anak autis yang lucu,
Ian anak baik hati walau kadang suka marah,
Emily anak yang dapat berbahasa Inggris dengan baik,
Arga yang memiliki gocekan maut saat bermain bola.

Aku suka melihat pemandangan sekolahku di sore hari,
di mana teman-temanku berkejar-kejaran, bermain, bercanda,
dan berbindcang-bincang di atas rumput yang hijau.
Buku BERJUTA BINTANG DI LANGIT SEKOLAHKU yang memberiku banyak pelajaran.
Teman-temanku dan guru-guruku yang terbaik di sekolahku yang kucintai ini.
Sebentar lagi aku masuk SMP, tak bisa kurasakan indahnya sekolahku lagi.
Ini semua membuatku takut akan kehilangan sekolahku yang sangat kucintai ini.
Tapi walaupun aku kehilangan sekolahku ini,
aku sudah mendapat pengalaman dan pelajaran yang berharga yang akan membekas di hatiku selamanya.