Thursday, October 13, 2005

SEKOLAH KEHIDUPAN (bag. 1)
Oleh: Anis Matta
(orang tua 4 siswa)

Sumber Kegembiraan
Mereka benar-benar hidup. Mereka masih terus berbincang dan bersenda gurau dalam perjalanan pulang ke rumah. Sehari penuh di sekolah seakan tidak melelahkan mereka. Atau mungkin - tepatnya - lelah tidak menghilangkan gairah mereka. Itu pemandangan sehari-hari dari keempat anak-anak saya dan ketiga temannya yang sama-sama bersekolah di Sekolah Alam. Padahal, karena jarak rumah dan sekolah yang jauh - sekitar 40 km - mereka harus menghabiskan 10 sampai 12 jam setiap harinya untuk belajar dan perjalanan.
Sekolah telah menjadi pusat kehidupan mereka saat ini. Mereka benar-benar menikmati pusat kehidupan itu. Bahkan waktu-waktu mereka di rumah pun digunakan untuk membicara-kan kehidupan mereka di sekolah. Sekolah bukan lagi beban. Sekolah adalah realitas kehidupan yang mereka jalani dengan penghayatan penuh. Sekolah adalah sumber kegembiraan. Bukan sumber stress yang biasanya membuat mereka kehi-langan gairah.
Di sini kehidupan dihadirkan dalam sebuah tata ruang dengan lansekap yang ditata sedemikian rupa agar tetap natural dan tampak riil. Dengan menggunakan konsep fun learning, Sekolah Alam telah mengubah sekolah menjadi sebuah miniatur kehidupan yang bukan saja natural dan riil, tapi juga indah dan nyaman. Proses belajar mengajar berubah menjadi aktivitas kehidupan riil yang dihayati dengan penuh kegembiraan. Itu membantu anak-anak menikmati masa-masa awal pertumbuhan, dan membangun imaji-imaji positif tentang kehidupan dan bumi yang mereka huni.
Itu pesona pertama yang mengantar saya ke Sekolah Alam!!!
Persepsi kita tentang kehidupan, tentang dunia, tentang bumi yang kita huni, yang kelak melandasi sikap-sikap kita dalam menjalani hidup, sesungguhnya terbentuk di masa awal pertumbuhan itu. Seperti apa kita mempersepsi kehidupan, dunia dan bumi yang kita huni pada awal kehidupan kita, seperti itulah kita akan menjalaninya. Imaji-imaji positif akan melahirkan energi, semangat dan gairah kehidupan. Begitu juga sebaliknya. Maka setiap "luka persepsi" pada masa itu, kelak akan mewariskan "luka emosi" dalam kehidupan kita. Dan setiap luka emosi, kelak akan mewariskan "gangguan pensikapan" dalam keseluruhan kepribadian kita. Itu sebabnya anak-anak yang bahagia di masa kecil jauh lebih berpeluang untuk berbahagia di masa dewasa dan tuanya kelak.
Saya hanya ingin anak-anak saya menikmati masa-masa awal "perkenalan" mereka dengan kehidupan, dunia dan bumi yang mereka huni. Mereka tidak dilahirkan untuk memikul obsesi-obsesi saya sebagai orang tua. Mereka dilahirkan untuk kehidupan mereka sendiri. Tugas saya adalah memfasilitasi mereka untuk mengenal dunia dan kehidupan di mana mereka ditakdirkan menjalaninya. Walaupun mungkin saja mereka mendahului saya menemui ajal, tapi pada galibnya sayalah yang akan mendahului mereka. Jadi rasanya saya tidak akan menyertai mereka dalam keseluruhan waktu yang akan mereka lalui di dunia. Maka biarlah kuantar mereka sampai ke gerbang kehidupan, dan kukatakan pada mereka: "Inilah kehidupan yang dikaruniakan Allah kepadamu, wahai anak-anakku. Kalian hanya harus mensyukurinya. Dan itulah alasan mengapa kalian harus gembira menjalaninya".

Belajar Untuk Menjadi
Dalam miniatur kehidupan yang natural dan riil seperti itu, anak-anak benar-benar dipandang sebagai manusia seutuhnya. Bukan sekedar robot cerdas - yang harus dijejali dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan - di mana jam-jam belajar merupakan saat-saat "pengisian" yang mengerikan. Ledakan informasi di abad ini barangkali membuat banyak orang panik. Sementara kehidupan yang telah berubah menjadi medan kompetisi yang kejam mendorong mereka berpikir, bahwa untuk bisa bertahan hidup anda harus mengetahui segalanya.
Begitulah sekolah-sekolah kita didirikan sebagai tempat menjajakan "barang-barang" yang bernama ilmu pengetahuan, yang harus "dimiliki" setiap orang agar bisa bertahan hidup. Maka kita mengagumi "kecerdasan". Karena itulah mata uang paling bergengsi yang digunakan membeli "barang-barang" tersebut. Dan belajar adalah proses transaksinya.
Di sekolah seperti itu anak-anak belajar "menguasai" pelajaran. Bukan menjadi sesuatu dengan pelajaran tersebut. Makin banyak pelajaran yang dapat mereka kuasai, makin baik transaksi mereka. Maka kita seolah-seolah berburu anak-anak cerdas, yang dapat melakukan banyak transaksi.
Tapi yang kemudian kita saksikan justru sebuah ironi. Anak-anak itu tidak mengalami transformasi pembelajaran. Pelajaran matematika, misalnya, tidak serta merta membuat mereka dapat berpikir logis. Pelajaran sejarah tidak memberi mereka kesadaran dan emosi akan identitas kolektif. Pelajaran bahasa bahkan tidak membantu mereka berbahasa dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Belajar adalah proses berubah secara konstan!!!
Pengetahuan bukan barang yang harus kita miliki. Pengetahuan adalah sebuah fungsi. Ia adalah cahaya yang menerangi ruang kesadaran batin kita. Seperti umumnya cahaya yang berpendar-pendar di tengah ruang gelap, kita hanya bisa bergerak secara baik dalam jengkal-jengkal ruang yang dibingkai cahaya. Sebagai sebuah fungsi kita harus mempelajari semua pengetahuan yang membantu kita berubah menjadi lebih baik. Belajar adalah proses menggunakan pengetahuan sebagai penuntun perjalanan mendekati kesempurnaan secara konstan. Belajar adalah proses menjadi secara konstan. Karena menjadi merupakan proses yang tidak pernah berakhir, maka belajar adalah satu-satunya proses kehidupan yang tidak pernah selesai.
Manusia adalah gabungan yang rumit antara ruh, emosi, akal dan fisik. Setiap aspek itu, kata Muhammad Quthub, seperti senar gitar yang harus dipetik bersama untuk melahirkan simfoni kepribadian yang utuh dan indah. Anak-anak bukan tabung besar yang harus diisi dengan pengetahuan. Mereka adalah senyawa kehidupan yang rumit dan kompleks. Mereka berubah, berbentuk dan bermetamorfosis melalui proses-proses yang juga kompleks, di mana pengetahuan hanyalah salah satu aspeknya.
Dalam konteks itu, maka semua pengetahuan yang mereka butuhkan untuk membangun kehidupan yang lebih baik harus mereka pelajari. Sebaliknya, semua pengetahuan yang tidak mempunyai fungsi spesifik dalam kehidupan riil mereka tidak perlu mereka pelajari. Jenis pengetahuan terakhir ini, kata Umar Bin Khattab, bukan aib untuk tidak diketahui. Itu sebabnya Rasulullah saw mengajarkan kita sebuah doa: "Ya Allah ajari kami apa yang bermanfaat bagi kami, dan beri kami manfaat dari ilmu yang telah Engkau ajarkan pada kami". Dengan begitu, pengetahuan bekerja dalam kehidupan mereka, sebagai sumber pencerahan hidup.
Begitulah saya menyaksikan anak-anak saya tumbuh dan berkembang, terus menerus berubah dan menjadi sesuatu yang lain, bersamaan dengan pertambahan usia sekolah mereka. Gabungan antara pelajaran kelas, latihan outbound, penelitian lapangan (outing), market day, dan lainnya, telah memberikan pemahaman dan kesadaran yang relatif lebih utuh tentang kehidupan, membentuk struktur emosi dan mentalitas yang lebih stabil, serta membangun sikap-sikap keseharian yang lebih tercerahkan dari waktu ke waktu.
Apa yang mereka pelajari di kelas terasa begitu dekat kehidupan sehari-hari mereka. Mereka, misalnya, belajar makna uang dan bagaimana menciptakannya melalui kegiatan market day. Suatu saat anak sulung saya, Hisan, yang kini duduk di kelas enam, mendapatkan untung sebesar 9000 rupiah dari hasil menjual juice dalam acara market day. Dia benar-benar merasa menang. "Sekarang", katanya, "Ican mulai tahu bagaimana caranya bikin uang".
Pembelajaran seperti itu tentu saja menghadirkan pengetahuan dalam kehidupan nyata mereka. Pengetahuan bekerja pada fungsinya: membimbing mereka menjalani hidup. Itu sebabnya setiap pertambahan pengetahuan melahirkan perubahan-perubahan baru dalam kehidupan mereka. Mereka menjadi lebih baik. Mereka menjadi lebih tercerahkan.

SEKOLAH KEHIDUPAN (bag. 2)
Oleh: Anis Matta
(orang tua 4 siswa)

Tradisi Ilmiah, Bukan Prestasi Belajar
Sekolah bukanlah lapangan pacuan kuda!!!
Tapi ada sekolah yang dirancang sebagai lapangan pacuan kuda. Di sana anak-anak dipacu untuk mengetahui lebih banyak. Bukan untuk menjadi sesuatu yang lebih baik. Tapi untuk mengalahkan orang lain. Kemajuan belajar diukur dengan capaian angka-angka. Bukan dengan perubahan-perubahan mendasar pada cara berpikir, struktur emosi dan pola sikap.
Di sekolah seperti itu kasta-kasta baru dibangun berdasarkan kecerdasa!!!
Barangkali tidak sepenuhnya salah untuk membagi murid-murid kedalam kelas-kelas berbeda berdasarkan tingkat kecerdasan. Yang salah adalah tren pembelajaran yang kita kembangkan. Secara tidak sadar sebenarnya sekolah semacam itu mengembangkan tren pembelajaran transaksional: anak-anak membayar mahal untuk mendapatkan guru terbaik, agar bisa menguasai semua pelajaran dan lulus dengan angka terbaik.
Sekolah semacam itu biasanya melahirkan anak-anak
pintar, bukan pembelajar apalagi ilmuwan. Mereka mempunyai prestasi belajar yang baik. Tapi tidak memiliki tradisi ilmiah yang kokoh. Kalau kelak mereka mendapatkan gelar doctor, prestasinya pasti summa cum laude. Tapi disertasinya doktornya mungkin merupakan karya ilmiahnya yang pertama dan terakhir. Secara intelektual mereka mengalami diskontinyu. Mereka mungkin menduduki banyak jabatan akademik yang terhormat. Tapi tidak akan pernah punya waktu dan perhatian untuk menggarap karya ilmiah yang monumental.
Ada beda yang teramat jauh antara tradisi ilmiah dan prestasi belajar. Prestasi belajar yang biasanya diukur secara kuantitatif melalui ujian, bukanlah indikator terbentuknya tradisi ilmiah. Tradisi ilmiah diukur melalui sikap seseorang terhadap pembejalaran, pengembangan intelektual berkesinambungan, penggunaan cara berpikir ilmiah dalam penyelesaian masalah, pembentukan keterampilan intelektual seperti bahasa oral dan tulisan, aktualisasi intelektual berkesinambungan, dorongan berkarya yang konstan.
Tren inilah yang hendak dibangun di Sekolah Alam. Sekolah ini menghapus sistim rangking, yang bukan saja memicu pembentukan kasta baru berdasarkan kecerdasan, tapi juga memandang potensi setiap siswa secara sama dan mengabaikan keunikan dan diferensiasi individual pada bakat, minat dan intelejensi. Di sini siswa dipacu untuk tumbuh maksimal pada pusat keunggulan intelejensinya, yang menyatu bersama bakat dan minatnya. Tidak ada persaingan antar siswa yang dilakukan dengan standar yang sama. Sebab tujuan pembelajarannya membangun tradisi ilmiahnya, bukan sekedar memicu prestasi belajar. Siswa-siswa itu bukan peserta lomba pacuan kuda. Mereka dididik untuk menjadi pembelajar yang optimal dalam pembelajarannya.

Pendidikan Untuk Zaman Yang Berubah
Waktu adalah variabel lain. Persepsi kita tentang waktu mempengaruhi pola didik kita. Kita tidak mendidik anak-anak kita untuk hidup pada zaman yang telah kita lalui atau yang telah dilalui orang lain atau peradaban lain. Mereka memiliki zamannya sendiri. Pendidikan bertujuan menyiapkan mereka untuk menghadapi zaman mereka sendiri.
Anak-anak kita hidup pada sebuah zaman di mana pengetahuan berkembang pesat dan merubah sendi-sendi kehidupan kita secara fundamental dan sangat cepat. Durasi perubahan-perubahan besar dalam kehidupan kita berlangsung kilat, karena faktor-faktor perubahnya bekerja simultan dan cepat. Ini menimbulkan kegamangan dan disorientasi dalam dunia pendidikan.
Faktanya adalah kita tidak punya kendali atas zaman yang kelak akan dilalui anak-anak kita. Kita tidak punya kendali atas perubahan-perubahan itu. Mungkin sekali kita bahkan sudah tidak ada ketika mereka mengalami perubahan-perubahan besar itu. Tapi adalah juga fakta bahwa semakin cepat dan sering suatu perubahan terjadi, semakin kita membutuhkan pegangan hidup yang bersifat permanen, yang tidak ikut berubah dalam perubahan-perubahan itu.
Jadi yang dibutuhkan anak-anak kita adalah pegangan permanen itu. Yaitu keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai agama.
Agama mengajarkan mereka hakikat-hakikat besar dalam kehidupan mereka: tentang asal usul mereka, tentang tujuan hidup mereka, tentang nilai-nilai yang harus membimbing hidup mereka, tentang faktor-faktor permanen yang membentuk kualitas hidup mereka, yaitu penerimaan Allah, manfaat sosial dan pertumbuhan berkesinambungan.
Apabila mereka belajar tentang itu semua dengan benar, mereka tumbuh pada pusat kehidupan yang benar dan pasti. Tapi itu saja tidak cukup. Mereka juga membutuhkan beberapa keterampilan dasar yang diperlukan untuk bertahan dan bertumbuh pada semua situasi. Sebagiannya merupakan keterampilan intelektual, sebagiannya lagi merupakan keterampilan emosional, dan sebagiannya lagi merupakan keterampilan fisik.
Sisanya biarlah mereka yang memperlajarinya sendiri!!
Itu yang dikembangkan Sekolah Alam. Membangun kemampuan-kemampuan dasar pada anak yang membuatnya proaktif dan adaptif terhadap perubahan-perubahan lingkungan. Kemampuan berpikir logis misalnya. Jika seorang anak mampu berpikir logis, itu mungkin lebih penting ketimbang sekedar mendapatkan angka tinggi dalam pelajaran matematika. Sebab kemampuan itu yang memberika kekuatan "mencerna" masalah-masalah hidupnya. Begitu juga latihan outbound. Di sini mereka melatih keberanian, kesabaran, keuletan, kerjasama tim, dan kepemimpinan. Latihan ini membangun struktur mentalitas mereka secara kuat yang membuat mereka tahan terhadap goncangan-goncangan hidup.

Eskperimen Yang Belum Selesai
Namun tetap saja perlu dicatat: Sekolah Alam adalah eksperimen yang belum selesai. Usia sekolah ini masih terlalu muda. Selain itu, jangan mengharap anak-anak kita jadi sempurna di usia 12 tahun ketika ia menamatkan sekolah dasarnya. Tapi itu memang tabiat dunia pendidikan: dunia eksperimentasi tanpa henti. Di sanalah proses kreatifnya berlangsung. Karena lingkungan strategis terus berubah, maka eksperimen-eksperimennya perlu dikembang terus menerus.
Yang penting adalah apresiasi yang kita berikan terhadap setiap eksperimen baru. Dan buku yang sekarang hadir di hadapan pembaca ini adalah sebentuk apresiasi terhadap eksperimen yang belum selesai itu. Buku ini merupakan catatan kesan dari semua orang yang terlibat dalam eksperimen tersebut. Ada penginisiatif awal, pimpinan lembaga, guru dan orang tua murid. Dengan mengangkat berbagai aspek dari proses pembelajaran di Sekolah Alam, buku ini bertujuan mengangkat eksperimen-eksperimen pendidikan Sekolah Alam sebagai sebuah diskursus pendidikan.
Eksperimen-eksperimen itu tidak harus benar. Tapi pahala memulainya telah diraih, sekarang tinggal merebut pahala perbaikan dan penyempurnaannya. Apa yang penting dalam sebuah eksperimen bukanlah hasilnya. Tapi bibit yang ditanam dalam eksperimen itulah yang kelak akan berbuah: niat baik, kerja keras, obsesi kesempurnaan, kelapangan dada menerima kritik dan kerendahan hati merima pujian, tidak cepat puas dengan keberhasilan-keberhasilan kecil, serta anggapan yang tidak pernah hilang bahwa semua sukses dalam eksperimen ini semata-mata merupakan rahmat Allah, bukan karena kehebatan kita.
Semoga Allah menerima amal-amal kita, memaafkan kelalaian-kelalaian kita, dan menyempurnakan kekurangan-kekurangan kita. Semoga keterlibatan kita dalam dunia pendidikan ini, dalam posisi sebagai apapun, menjadi amal unggulan yang akan mengantar kita meraih ridha Allah dan surga-Nya kelak. Amin.

Jakarta, 22 September 2003