Monday, October 13, 2003

Arti Sekolah Alam Bagi Anak Special Need
Afrisya Irviranty
[ortu murid Special Need]

Ketika harapan demi harapan terus kami pupuk,
sedang kami tak pernah tahu kapan semua itu akan menjadi nyata,
maka terasa amat berat untuk mengungkapkannya ketika ada yang bertanya pada kami tentang harapan.
Mungkin Anda tak pernah bisa secara tepat membayangkan bagaimana
rasanya mengarungi hidup bersama seorang anak yang diberi label special need oleh lingkungannya,
sebelum anda sendiri mencicipi rasanya dengan berinteraksi intens dengan mereka.
Label special need yang disandang oleh putra-putri kami,
kami rasakan sebagai sebuah kata ganti yang amat sopan untuk kata "terbelakang".
Kami temukan makna itu ketika kami berinteraksi dengan sebagian orang yang yang
memandang anak-anak kami dengan sorotan n, aneh, bingung, iba, bahkan tak suka, karena tak mampu memahami mereka.
Tapi itu dulu, di saat kami belum memiliki coping mechanism terhadap apa yang terjadi pada anak kami.
Segenap usaha yang kami jalani untuk membuat putra kami menjadi lebih baik,
ibarat menapaki jalan panjang yang tak kelihatan ujungnya.
Ada kalanya kami merasa lelah, energi dan emosi begitu terkuras,
juga airmata yang tak terbendung mengiringi doa-doa yang kami panjatkan.
Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, serta berbagai terapi yang dijalani,
sikap skeptis dan pesimistis seperti itu perlahan terkikis. Kami memupuk keberanian untuk terus berharap,
membina hubungan dengan banyak orang dan membuat mereka mengerti dan memerima special need .
Terlebih ketika kami memasuki sebuah lingkungan bernama Sekolah Alam.
Kami menemukan sebuah lingkungan berdaya toleransi tinggi, suportif, dan penuh gairah.
Semua elemen di dalamnya, baik para guru, orang tua murid, murid-muridnya sendiri,
maupun lingkungan fisiknya, memiliki potensi daya dukung yang tinggi bagi kemajuan perkembangan anak-anak special need kami.
Menurut Greenspan & Wieder dalam bukunya The Child with Special Needs,
ada beberapa karakter yang harus dimiliki oleh sebuah sekolah dalam program pendidikannya,
agar dapat medukung perkembangan anak-anak dengan special need , diantaranya :
1. Mempunyai filosofi yang mendukung perkembangan tiap anak, yang dimulai dengan perhatian mutual, keterlibatan dan interaksi adua arah.
2. Guru-guru yang tahu bagaimana memfasilitasi hubungan dengan anak yang memiliki gangguan perkembangan.
3. Guru-guru yang sensitif terhadap perbedaan individual masing-masing anak dan menghargai strategi tiap anak untuk menenangkan dirinya.
4. Adanya kelompok kecil yang dipimpin oleh orang dewasa ( sebagai kelompok tansisi sebelum memasuki kelompok besar).
5. Lingkungan yang menyediakan atau memperkenankan guru pendamping (aides) untuk bekerja one-on-one terhadap anak.
6. Aturan yang menyediakan kesempatan untuk keterlibatan orangtua dan terbuka terhadap saran-saran mereka.
7. Setting kelas yang inklusif, yang mencampurkan anak-anak dengan dan tanpa special need.
Idealnya mungkin demikian, tapi semua tergantung situasi dan kondisi sekolah yang bersangkutan.
Dan ekspektasi yang sedemikian terhadap Sekolah Alam, tentu bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan.
Perjuangan yang bertahun-tahun dilakukan oleh Sekolah Alam untuk mewujudkan dirinya seperti yang sekarang,
menjadi sebuah landasan dari harapan-harapan kami.
Begitu pula kegigihan dan keikhlasan orang-orang baik di dalamnya untuk menjadikannya sebagai "sekolah untuk semua",
meyakinkan kami bahwa Sekolah Alam pun akan menjadikan anak-anak special need kami sebagai anak kandungnya.
Wallahua'lam.

Dapat Pahala
Kunti Indra Karmadewi
[mantan Guru]

Hari kamis, setelah buka kelas tepat jam 7.30 Wib.
Siswa kelas 1 barat siap untuk memulai murojaah surat dan membaca A BA Ta Tsa.
Saat itu saya juga berada di kelas, mendengarkan mereka membaca surat bersama ibu Fatimah.
Siswa di kelompok Ibu Fatimah terlihat sangat bersemangat.
Ada juga beberapa siswa yang asyik dengan lamunannya dan hanya terdiam saja.
Beberapa kali Ibu Fatimah mengingatkan, Ayo suaranya yang keras, mulutnya dibuka.
Siswa yang melamun segera tersentak mendengarkan teguran Ibu Fatimah.
Tetapi tidak lama kemudian mereka melamun kembali.
Saya merasa geli memperhatikan mereka.
Yang saya pikirkan adalah apakah mereka terdiam karena tidak bisa atau benar-benar sedang melamunkan sesuatu.
Tetapi kelihatannya mereka juga mendengarkan dengan baik.
Satu jam berlalu, dan tidak terasa pelajaran A Ba Ta Tsa sudah selesai.
Mereka bersama-sama menutup majlis dengan do'a.
Seperti biasa Ibu Fatimah berpesan, "Diulang-ulang di rumah ya. Biar cepat hafal.
Hari ini yang murojaah keras dengan membuka mulut mendapat stiker."
Iommi, Furqon, Gilang, Emil, Bella, Nama, Thia, dan Yasmin tersentak,
dan berharap akan mendapatkan stiker dari Bu Fatimah. Wajah mereka sangat berharap.
Kemudian Ibu Fatimah berkata, yang mendapatkan stiker hari ini adalah Gilang dan Bella, karena murojaah-nya bagus.
Wajah-wajah yang lain terlihat kecewa. Terutama Iommi.
Kemudian ia menimpali, "Ya,…. Bu Fath gitu, Curang deh ….. Masak Iommi nggak dapat," katanya dengan muka sangat kecewa.
"Habis Iommi bengong aja sih, dari tadi." kata Bu Fath membalas.
"Ya sudah kalau begitu, tapi yang penting kita dapat pahala 'kan?
Nggak apa-apa nggak dapat stiker, tapi dapat pahala," kata Iommi mengakhiri kekecewaannya.

Ngambek di Sekolah? Ah Biasa….
Oleh: Yanivi S. Bachtiar
[ortu Iffah SD-1 Barat dan Shofi SD-4]

Iffah, 2,5 tahun, selalu menangis melihat kakaknya pergi sekolah.
"Aku juga mau tekolah", begitu katanya berulang-ulang. Agak sulit mencari sekolah untuk Iffah.
Ia tidak suka berada di ruangan tertutup dan agak emosional, ciri khas anak yang kecenderungan belajarnya kinestetik.
Setelah mencari sekolah yang cocok, Iffah akhirnya diterima sebagai murid play group Sekolah Alam.
Cawu pertama Iffah di sekolah sungguh membingungkan. Setiap berangkat Iffah selalu ditanya, "Betul mau sekolah?".
Dan jawabannya selalu mau. Tapi setibanya di sekolah, Iffah mulai ngambek. Duduk di sudut saung dengan muka cemberut.
Sapaan lembut gurunya lewat begitu saja. Celoteh ceria teman-temannya pun tidak disambut.
Herannya, kalau diajak pulang Iffah tidak mau. Selama cawu itu Iffah cuma mau mengikuti kegiatan jalan-jalan dan outbond.
Sisanya? Duduk cemberut di sudut saung atau seharian melihat bebek berenang.
Tapi diakhir cawu, guru Iffah (bu Maryam, bu Syarah dan pak Iman) selalu memberikan laporan positif.
Iffah sudah mulai mau mendengar gurunya cerita, Iffah sudah mau menggambar dan lain lain.
Namun bu Maryam menyarankan agar Iffah tidak ditunggu ibunya. Begitulah, Iffah sekolah ditunggu ayahnya atau mbaknya.
Cawu duapun belum banyak perubahan. Iffah sudah mau ikut membuka kelas bersama-sama.
Tapi masih dengan wajah cemberut, dan tidak menjawab sapaan siapapun.
Baru di cawu tiga, ngambek Iffah berkurang. Iffah sudah mulai menikmati kegiatan kelas.
Tapi karena akhir cawu usia Iffah baru 3,5 tahun,
bu Maryam menyarankan agar Iffah belajar di Play Group satu cawu lagi sebelum masuk TK A.
Satu cawu berlalu sampai akhirnya para guru memutuskan Iffah bisa pindah ke TK A.
Satu hari di TK A, laporan gurunya, bu Kunti pun positif. Iffah bisa mengikuti semua kegiatan hari tersebut.
Tapi ternyata Iffah tidak kerasan di TK A. Kenapa? Iffah sudah punya sahabat karib, Titi.
Karena Titi masih di Play Group, Iffah juga mau di playgroup lagi.
Begitulah, sebelum di SA ada Play Group A dan B, Iffah sudah lebih dulu menjalani dua tahun di Play Group.
Sekarang Iffah, 6.5 tahun, sudah kelas 1. Tiap pagi Iffah bangun sendiri, makan, mandi dan bersiap-siap sekolah sendiri.
Malam sebelumnya ia juga sudah menyiapkan keperluan sekolah, seperti baju ganti dan snack nya sendiri.
Meskipun jarak dari rumah ke SA hanya lima menit berjalan kaki,
Iffah selalu ingin berangkat jam 7 pagi supaya bisa tiba paling awal di kelas.
Masuk SD diusia lebih dari 6 tahun ternyata membuat Iffah mandiri secara emosi maupun fisik.
Di sekolahpun tidak pernah lagi ada acara 'ngambek'. Melihat mandirinya Iffah sekarang,
rasanya tidak terbayang bahwa dulu ia suka ngambek. Jadi jika sekarang ada murid yang masih "ngambek",
percayalah ia sudah ada di tempat yang tepat. Para guru SA selalu akan memberi laporan dan dukungan positif.
Terima kasih untuk semua guru Iffah yang selalu bersabar dan percaya bahwa Iffah bisa mandiri seperti sekarang.