Tuesday, October 21, 2003

Memori Ciganjur – Bagian 4
Oleh: Bu Septri
[guru SD-1 Barat]

Namanya Syafir.
Di sekolah kita tercinta ini, mungkin tidak banyak lagi yang tahu siapa Syafir. Tapi buat aku dan beberapa orang yang terlibat di awal-awal berdirinya Sekolah Alam, nama Syafir akan terus melekat dalam ingatan. Dan inilah yang teringat tentang Syafir ketika aku diminta menulis untuk buku Lima Tahun Sekolah Alam.
Kudengar ketok-ketok di pintu. Kulirik jam dinding. Pukul 02.00 dini hari. Semoga yang datang ini Syafir yang sudah ditunggu-tunggu sejak pagi. Betul! Muhammad Syafir datang dengan SEYANGTE MEWAHAFI SUDULUBICAP (baca: senyum yang tetap mengembang walau hati dan fisik super duper luar biasa capek).
"Batu kalinya sudah datang, mo ngambil uang batu, Sep", katanya padaku.
Saat itu aku sudaah menikah dengan mas Hendi, 3 x 24 jam setelah akad nikah, berdua kami sudah kembali ke Ciganjur. Kuambil kuitansi, buku keuangan, cap sekolah, dan lain-lain. Maklum yaa… untuk tahap awal dobel jabatan itu lumrah. Semua harus bisa jadi guru sekaligus administrasi, marketing, bagian produksi, humas, kepala sekolah dan tak ketinggalan kontraktor. Lho? (pelaku kontrak rumah namanya kontraktor bukan?).
Bersama suamiku kami mengantar ke lokasi sekolah. Batu kali berton-ton itu harus dipindah ke tanah rawa calon parkiran. Suara batu-batu sebesar batu candi membelah hening malam. Dinding tebing di sampingnya ikut memantulkan suaranya hingga ke angkasa.
Satu dari sekian rumah penduduk menyala lampunya. Ups, bakal ada masalah nih, gumam Syafir melihatnya. Benar, satu persatu rumah mulai terang menyala lampunya. Buru-buru Syafir mendekati penduduk. Sosoknya hilang ditelan gelap.
Alhamdulillah kita punya Syafir. Waktu itu Syafir masih kuliah di Landscape IPB dan ada di 5 terbaik. Jam terbangnya terhitung tinggi. 'Sudah jadi'-lah, istilahnya. Dari sekian talentanya, kelenturannya menghadapi masyarakat itu yang paling menonjol. Dan aku yakin, hal itulah yang akan menunjang kesuksesannya sebagai arsitek lansekap yang besar nantinya. Aku nggak khawatir saat bernego dengan masyarakat, asal Syafir ada di situ. Luwes sih.
Satu jam kemudian Syafir muncul lagi. Alhamdulillah, masalah selesai.
"Yuk, masih ada sisa waktu untuk belajar nyetir lagi".
Nggak salah, Fir? Bener nih sanggup? Akhirnya seperti biasa sisa malam kita habiskan bertiga untuk berlatih nyetir di Tanjung Barat (waktu itu Sekolah Alam belum punya supir, padahal sangat dibutuhkan). Gurunya ya Syafir yang mantan juara karate se-Asia itu. Pulangnya biasanya pagi, terus mampir dulu ke Pasar Minggu untuk membeli sayuran dan berburu sampah sayur buat kelinci di sekolah.
O iya, sebenarnya Sekolah memilih konsep berbasis masyarakat dan so pasti keterbukaan (masjid sebetulnya bagian paling integral dari Sekolah Alam untuk berakrab-akrab dengan masyarakat). Sekolah harus tanpa pagar pembatas. Baur, egaliter, kebersamaan, keanekaragaman. Tapi innalillahi, ini sangat alot untuk dijalankan. Sekolah yang belum siap dengan konsep ini, atau masyarakatnya ya?
Aku bisa saja pura-pura cool jika siang-siang tercium bau aneh-aneh dari empang sebelah saat pembelajaran berlangsung. Kalau kita di saung atas (lantai dua kerennya) maap-maap nih, yang sedang pe-u-pe di empang akan segera terlihat dari situ. Lama kelamaan pedagang permen, mainan dan lain-lain mulai satu per satu datang dan berseliweran di halaman sekolah. Orang-orang motong jalan seenaknya, kadang berpakaian kayak habis tidur gitu, teriak-teriak nyari anaknya. Nggak sangguup… Kok kayak nggak pas gitu rasanya.
Akhirnya kita ngotot untuk memasang pagar, pagar hidup dengan alternatifnya bambu jepang. Syafir sendiri mulai khawatir dengan petasan lebaran yang terbang-terbang dan bisa jadi nyangkut di atap jerami sekolah.

Seperti biasa tenaga selalu kurang. Jadi setelah mengambil bambu dari Bogor, bambu setinggi dua meteran itu kita tanam sendiri. Butuh waktu lebih dari sebulan untuk menyelesaikannya, jadi terbiasa kalau harus nyebur-nyebur lumpur hingga sepinggang.
Saat itu hampir maghrib. Aku sudah bersiap-siap pulang, ketika terdengar suara ribut-ribut. Dari jauh kulihat puluhan laki-laki datang menuju lokasi sekolah. dengan kemarahan. It must be something doesn't right going on… Bulu kudukku sudah mulai meremang, keringat dingin satu-satu mulai keluar di sekujur tubuhku. Belum pernah aku merasakan kengerian seperti ini. Pasti ada masalah lagi. Kapan semua ini berakhir, ya Allaah…
Dengan satu komando batang-batang bambu yang sudah susah payah ditanam itu mereka rubuhkan. Krak krak kraak buum! Berserak-serak dan berpatah-patahan, tumbang ke tanah basah. Suaranya riuh rendah ditingkahi suara kemarahan bapak-bapak itu. Aku takjub, bengong, ngeri, tak tahu harus berbuat apa. Kurasakan pipiku mulai basah dengan air bening hangat yang keluar dari mataku.
Sungguh sangat ingin saat itu segera menyelesaikan masalah. Syafir tetap setia menunggu sampai pagi, sampai semua cool down. Tepat pagi hari dia berangkat ke rumah Pak RT. Aku tidak tahu apa yang dikatakannya… tapi yang pasti bapak-bapak yang semalam itu datang lagi dengan muka yang sangat kecut, sambil mengomel kiri kanan. Tidak dinyana mereka mengambil bambu- bambu yang rubuh dan menanamnya kembali di tempat semula dengan menahan malu (kali'). What is going on here? Rasanya aku jadi pengen tersenyum dan tertawa. Pernahkah kau merasakan kebahagiaan yang besar dan tiba-tiba sampai nyesak-nyesak ke dada? Dan itu membuat muka kita pengen tersenyuum terus karena feeling so good?
Kamu ngomong apa emang, Fir? Syafir tersenyum aja menanggapi pertanyaanku. Aku belum sempat bertanya lagi padanya. Karena sampai saat ini akupun belum pernah bertemu lagi dengannya. Kapan ya, bisa mendengarkan kamu niup seruling bambu lagi sambil nungguin tukang, malam-malam belajar nyetir, buka puasa bareng, menangis dan ketawa bersama. Aku yakin Abang Lendo masih ingat janjinya untuk membuat sebuah studio yang cantik untukmu di sudut sekolah. Someday it will happen.

Memori Ciganjur – Bagian 3
Oleh : Bu Septri
[guru SD-1 Barat]

Tentang Hendi. Tani ternak terpadu, … tani ternak terpadu … kata-kata itu yang memenuhi kepalaku. Aku harus mencari seseorang yang mau bantu aku di pertaniannya. Orang itu harus struggle dan harus betul-betul orang lapangan. Satu dari jurusan tanah atau hortikultur, satu lagi dari landscape. Aku nggak punya teman dengan kuallifikasi seperti itu. Tapi mungkin bisa dicari di pesantren ikhwan (laki-laki) Ulil Albab di Bogor.

Akhirnya aku nembak nelpon ke pesantren tersebut. Setelah bla-bla-bla … si penerima telpon menyebutkan dua nama untukku. Hendi dan Syafir. Yak! Langsung janjian bertemu untuk survei lahan. Di mana pertama kali bertemu? Di stasiun kereta super sumpek ekonomi saja, sekalian berangkat ke Ciganjur. Aku pakai baju merah hati biar mudah dikenali. Dia datang telat 15 menit karena nyari-nyari aku dulu. Kakinya beralas sendal jepit (itu pun gede sebelah), kan mau survei lahan, kilahnya.

Hasil survei sudah bisa diduga. Lahan mengandung besi, sangat miskin hara, drainase buruk. Yaa.. intinya harus kerja keraslah, he he he. Mempekerjakan orang sekitar untuk membantu pertanian sangat sulit, minta biayanya selangit. AKhirnya Pak Hendi membawa orang-orang dari Sukabumi untuk mengolah lahan (thok). Dia sendiri selalu ikut terjun dalam setiap gawe pertanian. Yang nyangkul, buat sumur., dll. Setelah ditanami kangkung barulah giliranku untuk merawatnya. Aku nggak pernah bertemu lagi dengan Bapak satu ini sejak kebagian jatah merawat.

Kangkung lama-lama tumbuh… tahu-tahu sudah saatnya panen (tahunya juga dari Kang Hamidin, “Kalau nggak dipanen sekarang sudah ketuaan, mbak.”) Kangkung ini harus dijual, batinku. Tapi dijual kemana? Murid belum punya, guru lagi nggak ada … siapa konsumennya? Waktu itu betul-betul aku lagi sendirian. Dengan mengeraskan hati aku pinjem sepeda tetangga. Kangkung yang sudah sangat buaanyak dan sudah menjulur-julur itu kuikat di sadel belakang (boncengan), lalu “Kangkung, kangkuuung!” Aku teriak-teriak ngider kampung. Rasa malu sudah kubuang jauh-jauh, tidak kudengarkan lagi jeritannya di hatiku. Untunglah 98% kebeli orang setelah seharian ngider. Pada kacian kali ya, sama aku. Masya Allaah…

Nah, tahu-tahu setelah itu datang lamaran dari Pak Hendi (ehm). Singkat cerita lamaran diterima. Sambil nunggu hari jadi kita nggarap lahan teruuuuss. Pembibitan, tanam polibag, nyiram, ndangir, etc. etc. selalu di lahan dan disiram matahari. Tidak ada kamus dipingit, walhasil saat hari jadi, kita berdua adalah pasangan pengantin tergosong sedunia. Hihik. Tapi anak-anak muridku bisa belajar apa saja dari kebun, itu yang paling penting.

Tentang Tri Puji Hindarsih. Siapa dia? Saat bertemu pertama kali kupikir aku bertemu dengan fresh graduate dari SMA. Sungguh! Subhanallah, mbak yang satu ini emang imut. Sholihah yang mantan menwa ini lulusan ITB Geodesi, teman Sujiwo Tedjo di karawitan dulu. Panggilannya Bu Cache. Kenangan yang paling indah adalah saat kita berdua bersiteguh bahwa sekolah siap dijalankan Juli 1998. Saat itu ada yang berkomentar pada Bu Loula, itu guru gilaaaaaaa!

Bayangkan saja. Saat itu saung sekolah belum sepenuhnya jadi, tapi setidaknya kebun sudah tersedia. Tanpa diduga ada petugas IMB memaku plat merah besar bertanda BELUM ADA IMB! Nah! Repot dan berbelit-belit masalah itu. Amit-amitlah….

Akhirnya kita berkucing-kucingan. Jika ada prospek calon orang tua siswa datang, papan itu kita cabut. Jika keadaan ‘aman’, papan ditempel kembali.

Sekolah harus dijalankan seberapapun muridnya. Kelas I ada 3 murid, bu Cache yang pegang. Kelas Playgroup ada 13 murid, aku dan Pak Iman yang pegang. Walaupun hanya ada 3 murid di kelas I, tapi ketiga-tiganya agak bermasalah saat itu. Yang satu suka melempar-lempar barang, yang satu suka memaki-maki dengan kata-kata kasar, dan yang perempuan satu-satunya sudah berkali-kali pindah sekolah, karena kerjanya di kelas hanya tidur menelungkup di meja sejak bel masuk sampai bel pulang. Tapi dengan besutan bu Cache, dalam 3 bulan permasalahan mereka finished! Rahasianya tentu saja … cinta! Cinta yang sangat meluap-luap kepada anak-anak.

Bu Cache juga yang mengenalkan kita semua pada Asih. Sungguh pilihan yang sangat jitu. Asih pegang administrasi dan Asih adalah orang teramanah sedunia!! I love you.

Saya sendiri sempat out dari Sekolah Alam mengikuti suami beragri keliling Jabar. Tapi seperti janji saya pada Iman, saya akan kembali (jika masih diterima…). Ternyata setelah saya kembali, mental-mental baja itu masih ada dan pasti akan terus ada di sini. Dan kekuatan cinta itu pun terus bersinar dan meluap-luap dari semua temanku di sini. Dari semua lini, dari pak kebun, administrasi, marketing, guru-gurunya. Kita tak akan pernah berhenti belajar untuk bisa memberikan yang terbaik yang bisa kita berikan kepada calon-calon khalifah Allah di muka bumi ini. BRAVO!!

Memori Ciganjur – Bagian 2
Oleh : Bu Septri
[guru SD-1 Barat]

Tentang Kang Hamidin. Akang ini asli Bengkulu dan bertugas sebagai ahli bangunannya. Hasil kerja tangannya luar biasa sempurna. Terasa ada yang lain jika menginjakkan kaki ke saungnya. Indah, agung. Kerjanya rapi jali. Lantai kayu dipasang female dan male, jika salah di antara kayu langsung harus dibongkar dan diperbaiki.. Begitu halus. Aku merasa dia mengerjakannya dengan sepenuh pengabdian kepada Allah, dengan dzikir-dzikirnya. Did you notice? Kayu-kayu di lantai saung berjajar rapi menghadap kiblat. Sempurna!

Kang Hamidin membawa istrinya untuk proyek pembuatan saung sekolah. Mereka sendiri hidup di bawah atap jerami. I mean it. Mereka menyandarkan 2 atap jerami membetuk atap sederhana di tanah. Duduk pun sulit di situ, hanya cukup untuk tidur. Masuknya juga merayap.

Makanannya sederhana. Mungkin khas Bengkulu. O ya, aku pernah ditawari kolak pisang, ternyata ada bawang putih di situ sebagai bumbunya. Nah, suatu hari (hari perayaan) aku melihat sisa-sisa masak daging guling. Sisa-sisa api masih ada. Surprise juga, ada apa nih? Ternyata Kang Hamidin baru baru saja mendapat rejeki nomplok!

Ada rusa nyasar ke lokasi sekolah. Rusa siapa? Masa’ dari Ragunan? Atau memang masih ada rusa di daerah sini? Rusa ini ditangkap rame-rame dengan penduduk sekitar, dan dimasak rusa guling. Dua kali peristiwa seperti ini terjadi.

Tentang Pak Iman. Aku memandangi karikatur-karikatur di dinding masjid Al Hurriyah. Karikatur-karikatur itu, Pak Iman punya. Aku belum pernah bertemu langsung, cuma mendengarkan suaranya saat finishing touch album nasyid Nuansa-nya. Aku harus dapetin dia untuk gabung di Sekolah Alam. Aku agak pesimis, tapi setidaknya aku akan coba.

Akhirnya aku bertemu dengannya di masjid, berta’auf, omong-omong di balik hijab. Kukatakan sebisaku, kukatakan maksud, kita bisa jadi diri sendiri jika kita di Sekolah Alam. Hadiah terbesar untukku hari itu saat Pak Iman bilang: Yes!

Yes! Yes! Yes! Dan aku tidak salah pilih. Sesama bungsu, sesama Virgo (apa hubungannya?) aku sayang padanya. Aku ingat ketika kita ngirit biaya pelatihan outbound dengan memakai temanku untuk melatih mountenary. Pak Iman yang pertama turun. Saat descending ? 8 m, baru teringat sang instruktur. Halo, ada carabiner yang terlupa! Tidak berbahaya sih, sebab Pak Iman sudah lincah naik turun tebing tanpa webbing dan tali. Tempaan alam sejati.

Yang selalu terngiang-ngiang di benakku saat aku pamitan mau ngikut suamiku ke Puncak. “Kau tega ninggalin aku”. Maafkan aku. Semoga kau mendengar janjiku saat itu, bahwa aku akan kembali. Sungguh.

Memori Ciganjur – Bagian 1
Oleh : Bu Septri
[guru SD-1 Barat]

Tentang Bang Lendo. “Namanya siapa?” tanya teman-temanku memastikan sekali lagi. Yang ditanya cuma nyengir. Waktu itu kami sedang kumpul-kumpul santai setelah sholat berjamaah di tempat kost. Sebenarnya mereka cuma menggoda, sebab yang mengenalkan nama Lendo berikut recruitment Sekolah Alam bernama Linda. Linda yang adik ipar abang ini menawarkan pada teman-temanku untuk bergabung dengan abangnya membuat sekolah baru. Syaratnya cuma tiga. Cinta banget sama anak-anak, dari peternakan, dan hafal Qur’an.

“Mau nggak, Sep?” tanya Linda padaku

“Aku hafal juz 30, bukan 30 juz”, jawabku.

“Nggak pa-palah, kita semua juga begitu.”

“Tapi yang peternakan cuma kamu,” teman-teman se-kost kompakan menimpali.

Jadilah aku calon guru di sebuah calon sekolah juga. Baru ada lahan sewa, calon lansekap yang indah, saung setengah jadi dalam pembangunan, tapi calon penempa khalifah-khalifah Allah yang bermutu. Amin.

Bagaimana mewujudkannya? Mulai darimana? Mulai saja dari segala pintu… nyari ahli olah lahan untuk tani ternak terpadu dan lansekap, hunting satu guru handal yang jagoan seni, pelatihan & tular ilmu dengan Uni Loula, buru-buruin Kang Hamidin untuk segera selesaikan bangunan, mulai hunting calon murid door to door, ngurus ijin sekolah juga ijin bangunan (IMB), dll. dll. dll… Tak boleh lupa … nyampulin buku perpustakaan. Siapa lagi yang akan ngerjain? Bagi-bagi tugas.

Untuk beberapa hal tertentu, jika kecapekan pulang pergi Darmaga-Ciganjur jadilah aku seorang yang ‘tidak pernah never dan selalu always’ nginep di kontrakan keluarga abangku Lendo ini. Sebuah rumah kecil kontrakan sepetak yang sudah mau muntah karena diisi barang-barang calon sekolah. Empat ruang kecil di rumah itu jadi extra full booked.

Aku, Uning, dan Khalid kecil bobok bareng bersama buku-buku yang sedang disampul. Bang Lendo tidur di ruang tidur yang lumayan luas, tapi hanya tersisa space sebesar sajadah untuk tidur, selebihnya dipenuhi barang. Karena ruang tidur itu hakikatnya adalah gudang. Tinggal tersisa dapur mungil dan kamar mandi. Di situ pun sudah ada mbak Iyah di belakang lemari esnya sebagai penyekat.

Hihi… tapi ini satu kenangan indah di antara ribuan kenangan indah bersama orang-orang pertama di Sekolah Alam yang kusayangi. Juga Abang yang untuknya akan selalu kutaruh respek dan hormat yang tinggi untuk selamanya.

“Ya mumpung masih muda, harus idealis dan membuat perubahan. Ntar kalau kita sudah tua, barulah saatnya menjadi bijaksana dan pengamat”, kata Abang saat itu.

“Septri, tani ternak terpadunya seperti Sadagori. Dua bukit tandus di Sukabumi itu telah disulap dengan siklus tani ternak terpadu tanpa pestisida kimia sedikit pun.”

Limbah sapi digunakan untuk kebun jeruk, di bawahnya ayam-ayam kampung sedang bertelur… limbah mereka digunakan untuk kolam lele. Sebagian .faeces dialirkan untuk menyirami lapangan rumput tempat makanan .ruminansia. Aliran listrik diambil dari kincir air yang dipasang di sungai. No usseless waste. Nanti anak-anak yang melakukan semuanya…. Sampai ke kemasan dan penjualan.

“Yuk Hendi, Safri, Septri… kita ke Puncak cari ide, melihat lansekap Kota Bunga. Sekolah kita harus mendapat penghargaan Aga Khan untuk lansekapnya. Indah, orisinal, memelihara lingkungan.”

Harapan itu Bang, yang menguatkan kita semua… sampai nanti. Be our best, be our self…