Wednesday, October 15, 2003

Apa Yang Salah dengan Sekolah Alam?
Oleh: Lendo Novo
[Konseptor Sekolah Alam; ortu Khalid SD-3, Hamzah TK-B, dan Dhia PG]

Saya kebetulan menjadi penggagas konsep sekolah alam. Tiga anak saya (Khalid, Hamzah dan Dhia) bersekolah di sana. Pikirku, pasti ketiga anakku sangat bahagia bersekolah di Sekolah Alam, karena gagasan membuat Sekolah Alam sangat sederhana yaitu membuat setiap anak berbahagia jika bersekolah!
Suatu hari, pada saat aku sering mengantar anak sekolah, sering terlihat Hamzah keluar dari ruang kelasnya bermain sendiri di pelosok taman sekolah alam. Pada awalnya aku tenang-tenang saja, karena mungkin itu bagian dari cara dia menghapus kejenuhan bermain bersama teman-temannya. Lambat laun saya mulai agak khawatir, karena ternyata perilaku keluar dari kelas pada saat belajar bersama dilakukan Hamzah setiap hari sepanjang tahun, dan ini berlaku hampir 2 tahun lamanya!
Saya mulai berpikir keras, apa yang salah dengan konsep Sekolah Alam sampai-sampai anakku sendiri tidak mau belajar dikelasnya? Saya sudah merasa bahwa Sekolah Alam adalah sekolah yang mampu membuat anak berbahagia dan senang jika belajar di sana, tetapi faktanya, terhadap anak saya sendiri malah kebalikannya! Saya berupaya bertanya-tanya terhadap orang tua murid dan anak-anak lainnya, apakah Sekolah Alam menyenangkan? Jawaban mereka sebagian besar menyatakan "Ya, Sekolah Alam adalah sekolah yang sangat menyenangkan buat seluruh keluarga!" Sejak itu saya mulai mengalihkan fokus pengamatan terhadap Hamzah, mungkinkah ada masalah dengan diri Hamzah sendiri?

Sejak Hamzah bisa berbicara, bicaranya memang seperti filosof (mungkin terlalu tinggi untuk ukuran anak seusia Hamzah), kalau ditanya oleh saya selalu menjawab di luar konteks pertanyaannya, seperti nggak nyambung, gitu. Saya masih menganggap mungkin karena Hamzah tidak mengerti pertanyaannya. Tapi lama-lama saya mikir juga, masak sudah umur 3-4 tahun masih belum paham-paham pertanyaan? Sebagai orang tua saya mulai khawatir, apa yang terjadi dengan Hamzah? Apa dia punya dunia sendiri seperti yang dialami oleh anak-anak autis atau anak-anak special need lainnya?
Setelah masalahnya sudah semakin rumit, baik guru maupun orang tuanya tidak mampu memahami perilaku Hamzah, akhirnya kami meminta pertolongan kakak saya, Bu Lola, yang kebetulan ahli pedagogik dan berpengalaman sebagai guru dan orang tua yang berhasil, untuk melakukan observasi terhadap Hamzah sesuai dengan kepakarannya. Bu Lola dan partner profesionalnya, Bu Ima, akhirnya setuju untuk melakukan observasi terhadap Hamzah selama satu minggu. Hasilnya! Hamzah ternyata memang tidak seperti anak normal lainnya, dia mempunyai masalah dengan motorik halusnya dan hanya menyukai pelajaran matematik dan konstruksi, itu artinya dia termasuk dalam kategori anak gifted (berbakat)!
Menurut Bu Lola dan Bu Ima, Hamzah tidak pernah mau masuk kelas karena dia tidak bisa menggunting, mewarnai, dan pekerjaan motorik halus lainnya. Akhirnya saya ikhlas Hamzah masuk dalam program special need class bersama teman-teman lainnya yang membutuhkan perhatian khusus! Alhamdulillah, setelah diterapi di kelas special need Hamzah sekarang dapat mengikuti pelajaran di kelasnya dan bangga dengan dirinya sendiri. Semoga Allah SWT memudahkan perjalanan hidupnya di kemudian hari, Amin!

Terkesan 'Aku'
Oleh: Vera Wahyudi
[ortu Luthfi SD-4]

Banyak sekali hal yang membuat aku terkesan sejak mengenal Sekolah Alam lebih dari 3 tahun ini. Salah satunya terjadi saat Luthfi masih kelas I ketika Sekolah Alam masih di lokasi lama. Saat itu aku sedang cuti, dan kusempatkan mengantar dan menjemput Luthfi di sekolah. Hari pertama aku malah sengaja menunggui Luthfi seharian di sekolah. Karena aku memang ingin sekali melihat langsung kegiatan pembelajaran di sekolah, yang selama ini tidak pernah bisa aku lakukan karena kesibukan kerjaku.
Hari itu kebetulan Luthfi dan teman-teman sekelasnya habis panen ikan dan sedang asyik bakar ikan rame-rame di kolong saung kantor. Ada yang sibuk mengipasi arang di tungku gerabah. Ada yang menusuk ikan kecil-kecil yang sudah dibumbui oleh Bu Ina dengan tusuk sate. Semuanya begitu antusias. Nah, di tengah serunya anak-anak membakar ikan itulah ada hal kecil yang membuat aku begitu terkesan. Aku mendengar Bu Ina membahasakan dirinya dengan 'AKU' saat berbicara dengan anak-anak.
Bagi para orang tua murid yang memang sering datang ke Sekolah Alam hal ini mungkin terasa biasa. Tapi tidak buatku. Hal itu terdengar aneh di telingaku. Terdengar aneh, karena sepanjang yang aku ketahui dan aku alami sendiri, biasanya guru di sekolah selalu membahasakan diri sebagai "Bapak" atau "Ibu" saat berinteraksi dengan murid-muridnya.
Aku benar-benar takjub dengan fenomena kecil yang kutemukan di Sekolah Alam hari itu. Nggak heran kalau anak-anak jadi begitu akrab dengan guru-gurunya di sekolah. Di kemudian hari kudapati bahwa ternyata memang hampir semua guru di Sekolah Alam selalu ber-'aku-aku' dalam berinteraksi dengan murid-muridnya. Saat di kelas,maupun di luar kelas.
Begitu sepele tapi ternyata sangat besar pengaruhnya. Terasa begitu akrab, begitu tak berjarak… namun tetap tak kehilangan rasa hormat dari anak didiknya. Memang bukan zamannya lagi guru berangker-angker ria, dan jaga-jaga wibawa supaya dipatuhi murid. Terbukti pula bahwa lebih baik dicintai oleh murid daripada ditakuti, dan ber-'aku-aku' telah membantu membuat murid merasa dekat dan tidak takut pada gurunya. Salut!